Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Ketika apapun yang telah kau lakukan dengan sepenuh hati tetap saja terasa hampa, jangan ragu untuk mengepakkan sayapmu, gunakan tenagamu untuk melayang jauh. Terbanglah setinggi mungkin agar bisa kau lihat dunia yang begitu luas, dan belajarlah pada dunia yang telah kau lihat.

Kamis, 27 Januari 2011

Goal Untuk Pak Madi ........


“Tambah setunggal, sing manis nggih pak ……..” pintaku.
Tenggorokan yang mulai mengering terobati dengan segelas es dawet di pinggir kali Gendol minggu lalu, ketika aku mengantar anak-istri menyaksikan langsung sisa-sisa keganasan Merapi. Sebenarnya kali itu ada rasa malu ketika untuk kesekian kalinya aku kesana. Biasanya ada misi kemanusiaan bersama temen-temen Posko yang membawaku kesana tapi kali ini adalah misi wisata keluarga. Orang lain baru susah untuk membangun diri tetapi aku dan keluarga malah menjadi penonton. Bah …. Orang macam apa aku ini ?
Sengatan terik matahari menambah nikmatnya segelas dawet buatan pak Sumadi, asal dusun Mudal, Argomulyo, Cangkringan. Banyak wisatawan lain yang ikut nimbrung menikmati dawet gula aren-nya pak Madi. Sekitar jam duabelas siang itu dagangannya sudah menipis.

“Alhamdullilah mas, cepet habis. Setiap hari kalau dawet habis, saya terus keliling kemana saja untuk mencari bantuan. Di dusun saya ketempatan 448 orang pengungsi. Di rumah saya sendiri ada 28 orang. Kalau dusun saya sendiri kebetulan tidak terkena terjangan awan panas, jadi rumah-rumah penduduk masih utuh dan sekarang "dinunuti" pengungsi yang dulu ada di barak pengungsian Maguwoharjo. Kalau saya tidak mencari bantuan, kasihan mereka mau makan apa ….. saya sendiri juga cuma jualan dawet gini, tapi Tuhan masih melindungi saya dan keluarga saya. Maka saya juga harus melindungi dan mengasihi orang lain.”

…….. Waduuuuuuuh, begitu dalamnya pengimanan pak Madi pada Tuhannya. Malu menerjang untuk kesekian kalinya di hatiku. Nggak terbayang sebelumnya kalau seorang penjual dawet begitu sangat, … sangat, …. sangat dan sangat pedulinya pada orang lain. Beliau tidak sekedar mencari kehidupan untuk keluarganya, tidak juga hanya mencari kesenangan buat keluarga dan dirinya, tetapi beliau mau untuk berpeluh keringat bagi orang lain. 
Gila bener orang ini ……… seandainya Negara ini penuh dengan “orang gila” macam pak Madi, aku yakin tidak akan ada lagi orang teriak kelaparan, tidak akan ada lagi orang mengaduh kesakitan karena tidak kuat berobat, tidak akan ada lagi orang bingung mau pakai baju apa hari ini.

“Kalau pak Madi kersa, coba kontak ke PRB di Medari. Kemarin saya dengar masih punya beras dua ton. Silahkan pak Madi kesana sambil membawa data pendukung selengkapnya, nanti saya coba bantu kalo masih mengalami kesulitan, siapa tau saya bisa membantu” kata saya. Ancar-ancar lokasi Posko dan nomor telfon yang bisa dihubungi saya serahkan pada pak Madi. Pembicaraan kami berlanjut ngalor-ngidul dan harus saya pungkasi karena perjalanan kami masih harus berlanjut ke Klaten.

……..“Mas, saya sekarang ada di PRB, tapi katanya sudah tidak ada logistik apapun” suara mas Daryono, adik pak Madi, dalam telfon senin siang kemarin. Rasa bersalah pada informasi yang aku berikan menjadikan cambuk bagiku untuk meneladan pak Madi. Telfon sana-sini, ketemu mbak Yamik dari Posko Sidareja, Kemalang Klaten. Puji Tuhan, agaknya bola yang kutendang menuju gawang. 
“Isih ana logistik sethithik, wingi bar tak drop neng Jumoyo. Yen gelem sak anane, segera tak siapke. Pak Madi diaturi tindak mrene wae” kata mbak Yamik di sebrang telfon.

“Matur nuwun mas, bantuan logistik saking Sidorejo sampun kula pendhet” ucap mas Daryono kemarin sore melalui HP. Segera saya SMS Yamik untuk mengucapkan terimakasih atas dukungannya. “Iya sama-sama. Itu semua juga amanah yang harus kita sampaikan ke yang berhak” SMS balik Yamik menjawab SMSku. Matur nuwun Gusti. Benar …… Engkau tidak pernah tidur.

Pak Madi ... Mas Daryono ….. Tuhan menyertai sampeyan dalam misi sampeyan. Satu goal telah menerobos gawang, yakinlah bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan sampeyan. Yakinlah pula bahwa bola sampeyan akan melesat jauh kedalam gawang lainnya untuk visi mulia sampeyan.

Memutar-ulang peristiwa itu, pikiranku jadi melayang …. Kapan ada “orang-orang gila” lain macam mereka di Negara ini ya ? Andakah salah satunya ?? Ah, semoga tidak sekedar ngoyoworo …….. SEMOGA.

Minggu, 23 Januari 2011

Kita Tetap Berguna …. !!


Handphone di saku bajuku bergetar karena ada telfon masuk. Kulihat tidak ada nama yang muncul disana … nomor baru. Biasanya tidak akan aku terima ketika ada nomor tidak kukenal yang masuk, tapi entah kenapa kemarin saya angkat juga telfonku. “Dimana mas ?” sayup-sayup terdengar suara di telfon. 

“Wis tekan Gendol, gak iso nyebrang neng Gadingan, Gendol banjir …… Kosik-kosik, iki sopo yo ?” sahutku setengah teriak untuk mengalahkan gemuruhnya suara banjir lahar dingin di tepi kali Gendol Jumat sore kemarin ketika kami dalam perjalanan menghadiri undangan masyarakat dusun Gadingan, Cangkringan yang terletak persis di sisi timur sungai Gendol.
“Niki pak Mardi Gadingan” sayup-sayup terdengar jawaban dari sebrang sana.

“Oh, nyuwun pangapunten pak Mardi, kami tidak bisa menghadiri syukuran masyarakat Gadingan, terlanjur besar banjirnya dan nggak bisa nyebrang ke Gadingan” sahutku. Ya, sore itu tidak mungkin kami bisa ke dusun Gadingan yang sebenarnya sudah tampak disebrang Gendol. Kedatangan kami kalah cepat sepuluh menit dengan datangnya banjir. Dalam perjalanan dari Posko bersama mas Memed sejak dari jalan Kaliurang memang hujan turun deras sekali, jarak pandangpun terbatas, tetapi kami bertekad untuk menghadiri undangan itu sehingga dengan berbasah-basah meskipun memakai mantol hujan, kami tetap meluncur ke Gadingan. Lumayan, lebih dari 25 KM jaraknya dari Posko.

Baru kali ini bisa kami saksikan sendiri bagaimana kondisi ketika banjir lahar dingin menerjang. Batu gunung sebesar meja bergelindingan terbawa arus air bercampur dengan gelondongan batang pohon dan pasir sehingga menimbulkan suara bergemuruh. Sepanjang aliran sungai mengeluarkan asap putih tebal seperti awan putih membumbung dari dasar sungai yang bahkan aliran airnyapun pada awalnya tidak nampak karena tertutup asap itu. Aroma belerang menyengat di hidung. Dusun Gadingan disebrang Gendol yang hanya berjarak limapuluh meterpun tidak nampak karena asap itu. Padahal ketika kondisi cuaca cerah, aliran Gendol nampak bersahabat, tidak banyak asap yang muncul seperti pada awal-awal Erupsi terjadi. Tetapi agaknya sisa-sisa erupsi dilapis bawah masih panas, sehingga ketika terkena air akan mengeluarkan asap. 

“Sampeyan mandhap sampai perikanan, terus belok kiri sampai tanggul lagi; sebelum tanggul ambil kanan mentok lewat candi, kemudian belok kiri lagi nyebrang dari sana saja. Kalau sudah nyebrang, mentok saja sampai SD negeri Ngancar, terus belok kiri lurus saja ke utara. Pokoknya tetap kami tunggu” sahut pak Mardi. Semangat kami yang mulai nglokro ketika dihadang banjir jadi berkobar lagi mendengar permintaan itu. Bagaimanapun kami harus menyebrang Gendol dari sisi bawah.

Kamipun menuruti arahan pak Mardi. Sampai Posko Gadingan kami dapati sepi, pintupun terkunci. “Pak Mardi, kami sudah sampai di depan Posko tapi kok sepi ?” tanyaku melalui telfon.
“Ooo… sudah sampai nggih…. Sampeyan balik saja ke timur, saya tunggu di pinggir jalan” jawab pak Mardi. Dan kamipun putar arah, tidak jauh dari Posko Gadingan, sekitar tujuhpuluhlima meter sampailah kami di lokasi syukuran. Kami datang terlambat, masyarakat sudah banyak yang pulang karena kuatir mendengar gemuruh banjir Gendol beberapa waktu lalu. Disana masih kami temui banyak relawan dari posko lain. 

Sungguh terharu rasanya bisa ketemu “teman seperjuangan” yang semula tidak saling kenal kemudian berbaur, bekerjasama dan dipersatukan oleh semangat kemanusiaan. Ya, sungguh kami bersyukur atas inisiatif masyarakat setempat yang mengundang para relawan dari berbagai posko yang selama ini membantu mereka untuk berkumpul bersama, karena disana kami temukan makna hidup lain. Kami sempat ngobrol dengan posko-posko lain tentang tindaklanjut penanganan lebih lanjut. Tanpa meremehkan posko lain, kami sangat tertarik dengan kiprah komunitas seni classical malioboro Yogyakarta yang terdiri dari anak-anak muda dengan dandanan ala mereka, yang sepintas hanya memikirkan penampilan diri sendiri dengan berbagai asesoris yang menempel dari kaki sampai kepala, namun ternyata begitu pedulinya dengan beban yang menghimpit masyarakat yang semula tidak dikenalnya juga. Sisi kemanusiaan mereka tidak luntur hanya karena jiwa seni yang merasuk dalam diri mereka, Salut kami untuk teman-teman pekerja seni di malioboro. 

Satu lagi pelajaran saya dapat, ternyata apapun potensi kita masih dibutuhkan dan bisa berguna bagi orang lain. Tidak perlu lagi berkecil hati dengan apa yang kita punya, tidak perlu lagi berkecil hati dengan apa kemampuan kita, tidak perlu lagi berkecil hati dengan apapun kesulitan yang menghadang di depan, karena masih banyak orang yang akan mau membantu kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. Tetap semangat ....... karena kita masih berguna ……. !!

Minggu pagi, mendung masih menggelayut di atas Jogja.

Senin, 17 Januari 2011

Jangan Pernah Berhenti


“Dulu banyak yang bekerja sebagai petani dan penambang pasir, tapi sekarang kami masih belum sampai hati untuk bekerja lagi. Mas bisa lihat lahan pertanian kami sudah rusak kayak gitu, sementara kami belum bisa menambang pasir lagi. Setiap kali mendekati Gendol (sebutan singkat untuk kali Gendol) saja masih terbayang kejadian waktu itu, dimana 34 orang warga dusun kami, yang selama itu sudah seperti saudara, berkomunikasi setiap hari, bekerja bareng, ronda bareng, pengajian bareng, suka atau sedih kami rasakan bareng, harus terenggut nyawanya oleh awan panas Merapi.” Kata pak Dukuh Gadingan, Cangkringan Sleman ketika kemarin kami berkunjung untuk kesekian kalinya. Nada bicaranya masih lemah, kurang greget,  kurang semangat.

Disamping masih merasakan berbagai perasaan yang berkecamuk, agaknya beliau (yang mewakili perasaan seluruh warganya) juga bertambah capai karena harus menerima kunjungan tamu-tamu penting negara untuk ‘melihat-lihat’ kondisi. Itu saja masih ditambah ramainya para wisatawan domestik dari berbagai kota yang dengan santainya ‘menikmati’ kondisi alam yang ‘menakjubkan’ dengan menggelar tikar dan membuka bekal makan-minum mereka, sementara penduduk setempat yang mencoba mengais hidup dengan membuka warung sederhana hanya bisa melihat lahapnya wisatawan menghabiskan bekal mereka. Sangat jarang yang membeli dagangan penduduk setempat.

“disini meninggal empat orang, masih satu keluarga …..disini sepasang mempelai yang baru sebulan menikah menjadi korban ……disini satu orang tukang bikin batako meninggal, kalah cepat dengan hembusan awan panas ……disini ada tiga mobil terparkir yang hangus dan bergeser lebih dari sepuluh meter dari tempat parkir semula …….disini ada enam orang meninggal ketika baru keluar rumah …..” jelas pak Dukuh ditengah-tengah puing-puing bangunan di beberapa titik yang hancur ketika mengantar kami survey lokasi yang akan kami usahakan untuk dibangun kembali dan bisa dihuni dengan lebih aman bagi mereka.

“Sudah ……. Mereka sudah sekolah lagi” jawab pak Dukuh menjawab pertanyaan kami mengenai warga yang berstatus pelajar. Memang mereka sudah mulai sekolah lagi, tapi untuk mencukupi biaya sekolah darimana orangtuanya bisa membayar ?? Untuk memperoleh ilmu di sekolah tidak cukup hanya dengan membayar SPP, masih banyak sumber ilmu yang harus diserap dari luar sekolah. Bagaimana mungkin ilmu generasi penerus disana menjadi berkembang baik ? Ya, kami diskusikan juga mengenai kelanjutan studi bagi para korban bencana Merapi setelah kami temukan link sebuah yayasan yang mengajak kami bekerjasama guna mendukung beasiswa anak di lingkaran lereng Merapi.

Banyak hal yang kami diskusikan dengan mereka. Beruntung bahwa mereka juga mempunyai Pokja yang siap bekerjasama dengan kami guna membangkitkan roda perekonomian mereka. Satu perkara sudah tersusun rapi. Bantuan dan dukungan dari donatur melalui Posko Kerinduan akan diujudkan dalam bentuk bantuan modal peralatan dan kebutuhan lain selain pasir dan kerikil untuk pembuatan batako, conblock dan lain-lain. Pasar sudah kami hubungi dan siap juga membantu menampung hasil produk mereka. Puji Tuhan.

Kami harus segera pamit setelah hampir empat jam diskusi ngalor-ngidul, sebelum pak Jusuf Kalla menyambangi mereka jam dua kemarin siang. Hallo pak JK ………. Maaf, kami langsung terobos ke lokasi tanpa koordinasi dengan pemerintah. Maaf pula kalau kami beranggapan bahwa pemerintah terlalu bertele-tele untuk menyalurkan bantuan dari antero negara yang begitu diharapkan para korban dimanapun lokasinya.

Memang, erupsi Merapi sudah beberapa bulan berlalu, namun potensi turunnya lahar dingin dari puncak Merapi masih sangat besar. Artinya, belum cukup bagi kita untuk meletakkan tangan dan hati. Mereka masih menderita. Adakah yang masih berkeinginan membantu mereka ?? Mari kerja bareng dengan kami dan mereka agar mereka bisa menemukan hidup dan kehidupannya kembali ……………..

Senin siang, ketika mendung pekat menutupi puncak Merapi. Semoga tidak lagi berjatuhan korban seiring dengan derasnya hujan di puncak.

Selasa, 11 Januari 2011

Bangkit dan Bergeraklah.




Agaknya alam masih sibuk untuk meluruskan badannya yang terasa ‘pegal’, menggeliat lagi dengan seenaknya tanpa ‘petung wektu’ dan ‘rembug manis’ dengan manusia terlebih dahulu, sehingga membuat semua kalang kabut. Semalempun muntahan lahar dingin masih menerjang kawasan tertentu dengan ganasnya, yang tentu saja memunculkan kekuatiran dan was-was di hati, manusiawi memang. Namun apakah orang hanya akan berlindung dan atau berdalih dengan kata sakti : ‘manusiawi’ sebagai senjata andalannya ? Tidak adakah kata sakti lain dalam menghadapi derasnya arus dunia ? 

 “Saya ingin ketemu dengan pengurus gereja pak” kata lelaki dengan seorang anaknya siang tadi ketika datang ke kantor. “Untuk urusan apa, barangkali saya bisa membantu …” sahutku. 
“Saya mau jual ini pak (katanya sambil memperlihatkan kantong plastik yang menurutnya berisi beberapa potong pakaian), saya tidak tau lagi mesti bagaimana untuk mencari uang guna mengobatkan istri saya yang sedang sakit.”

Irfan namanya, biasa dipanggil Wawan. Beristri satu orang, anakpun juga masih satu. Ada kista didalam tubuh istrinya, pagi tadi ketika tangan Wawan digerak-gerakkan di depan muka istrinyapun sudah tidak nampak apapun di mata istrinya. Gelap, kata istrinya. Sementara Wawan sendiri sedang tidak punya pekerjaan tetap, serabutan saja, apapun diterimanya untuk menyambung hidup.

Selaras dengan gerakan alam yang tanpa basa-basi, demikian juga agaknya roda kehidupan. Makin tersadar pula aku akan semuanya ini. Himpitan ekonomi ditengah besarnya cinta seseorang pada kekasihnya membuat apapun harus dilakukan agar buah cinta itu tetap segar dan tidak layu, sampai-sampai kalau mesti telanjangpun tetap akan dilakoni.

Ironi memang, kalo selama ini aku lihat banyak orang yang kebingungan cari tempat VVIP untuk pengobatan keluarganya, tapi di sisi lain masih banyak pula orang yang kebingungan untuk mengobatkan keluarganya, sekalipun di Puskesmas yang berbiaya murah.

“Saya tidak tau lagi harus mengucap apa ……” kata Wawan dengan mata berkaca-kaca ketika kuulurkan sejumlah rupiah padanya.
“Sudahlah, terima saja dan tolong segera urus istri sampeyan, semoga dengan rupiah ini bisa membantu kesembuhannya. Dan tolong juga pandanglah dengan kacamata iman bahwa bukan saya yang memberikan uang ini, tapi hanya Tuhan semata melalui tanganku. Saya sendiri tidak punya apapun, sama seperti sampeyan. Yang saya punya hanyalah doa untuk sampeyan sekeluarga mas” kataku.

Semoga istri sampeyan lekas sembuh mas Wawan ….. tetaplah tabah dalam menempuh terjangan kehidupan dunia. Jangan lagi kuatir dan hanya menunggu, luruskan badanmu, hilangkan penat dan pegal, menggeliatlah kalau perlu, untuk mempersiapkan tugas mulia di masa mendatang, karena sampeyan tetap berguna dan dibutuhkan dunia. Percayalah itu, agar semangat hidupmu tetap menyala. Tuhan, berkati keluarga mas Wawan, jamah keluarganya dengan tangan kasihmu agar apapun yang terjadi tetap ingat akan kuasaMu.  


 Selasa malam, ketika cuaca sedang cerah. Semoga secerah harapan keluarga mas Wawan.

Sabtu, 08 Januari 2011

Harga Sebuah Konsistensi



Serasa banjir lahar dingin merapi yang menerjang dan meluluh-lantakkan rumah-rumah penduduk di sekitar aliran beberapa sungai yang berhilir dari puncak, yang membuat insan disana repot dan sibuk mengatasinya; hari ini menjadi hari yang melelahkan lagi, setelah beberapa hari ini sibuk dengan berbagai urusan yang tidak nampak juga ujungnya. Bahkan untuk hari ke depanpun sudah menumpuk jadwal yang harus diseleksi benar, mana yang paling penting diantara yang penting dan membuang yang tereliminir. Baru tersadar bahwa ternyata dalam keterbatasanku masih banyak yang bisa aku berikan untuk orang banyak, walaupun dengan menguras tenaga dan pikiran.

Bersyukur untuk semua hal telah usai  terlewati, meski kadang dengan terengah-engah. Jalan tidak selalu lurus, jalan tidak pula selalu halus layaknya salju tapi nyatanya aku bisa melewatinya dengan “baik” , paling tidak menurut ukuran dan kriteriaku. 

Lelah …… tiang terlanjur aku tancapkan dengan kokohnya, benderapun sudah aku tarik ke atas. Aku harus mampu menjaganya dari badai yang selalu mengincarnya. Apa yang sudah aku angankan harus terealisir dengan baik. Tinggal menyemai dan memupuk konsistensi dalam diriku untuk lingkaran anak panah yang terpampang di depan. 

Keep The Spirit ...........