Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Ketika apapun yang telah kau lakukan dengan sepenuh hati tetap saja terasa hampa, jangan ragu untuk mengepakkan sayapmu, gunakan tenagamu untuk melayang jauh. Terbanglah setinggi mungkin agar bisa kau lihat dunia yang begitu luas, dan belajarlah pada dunia yang telah kau lihat.

Rabu, 20 April 2011

Arundati 5


Ibu …….
Apa yang ibu sampaikan sore tadi begitu menampar hatiku …… Trenyuh aku, ketika mendengarkan apa yang menjadi pergumulanmu di usiamu yang menapaki senja ini.
Ketika seharusnya ibu bisa berbangga dengan segala sesuatunya, ternyata masih tersimpan perkara besar yang membuat ibu tidak bisa berbangga.
Ketika seharusnya ibu bisa bahagia melihat segala sesuatunya, ternyata masih terselip lelakon yang menghalangi kebahagiaan itu.
Ibu, mengapa sampai usiamu yang sesepuh ini mesti berakit-rakit ke hulu terus ?? Kapankah ibu bisa berrenang ke tepian ?
Aku ingat betul saat Minggu sore lalu aku matur bahwa ibu tidak perlu memikirkan apapun dan ibu jawab : “Yo …… ibu ora mikirke opo-opo kok” …… Tetapi ternyata pertahanan ibu jebol juga, dan ibu ngendika hal yang bertolak belakang dengan jawaban ibu Minggu sore lalu.
Ibu …… Meski apa yang ibu ngendikakke sore ini tidak klop dengan jawaban minggu lalu, aku tidak menyesalinya, aku juga tidak menggugat jawaban itu, justru aku bangga dan bahagia ibu kersa ngendika apapun itu kepadaku. Matur nuwun ibu.
Tetapi Ibu ……. Taukah tadi ketika di depanmu aku harus berbohong ?? Kesanggupanku tadi hanyalah sebatas kata yang aku sendiri tidak tau seberapa mampu aku penuhi ….. aku sendiri sangsi dengan beban yang kau pikulkan ke pundakku. Terus terang, sebenarnya aku kuatir dengan pandangan ibu terhadapku. Ibu, aku bukan siapa-siapa, bukan orang istimewa pula, kalaupun aku menjadi istimewa hanyalah karena aku punya ibu sepertimu dan punya bapak seperti almarhum bapakku, suami ibu ......... bukan karena hal lain.
Masih melekat dipikiranku, semasa kecilku ibu pernah mengajariku sepenggal lagu “………… Sujud bertelut ku dengar namaku disebut; Di Doa ibuku, namaku disebut; Di Doa ibu ku dengar ada namaku disebut ………” ibu perlu tau bahwa lagu itu menjadi salah satu lagu favoritku sampai saat ini. Melalui lagu itu Ibu telah mengajarku tentang dahsyatnya kekuatan doa, dan aku begitu yakinnya bahwa ibu selalu berdoa untukku dan anak-anakmu.
Maafkan aku kalau masih juga mempunyai keraguan untuk memenuhi janjiku padamu ibu, tetapi aku akan berusaha keras agar semuanya dapat terpenuhi, karena ibu telah berdoa selalu. Ya, ibu …… aku mulai menyiapkan diri untuk melangkah.Doa restumu tetap aku pinta.
Tuhan, perkenankan aku untuk melakukan apa yang menjadi keinginan ibuku, karena aku tahu bahwa keinginan itu baik adanya dan aku begitu yakin bahwa keinginan ibuku itu juga menjadi keinginan-MU juga. Kalau Tuhan berkenan, aku memohon agar ibuku masih bisa melanjutkan hidupnya di dunia ini sampai apa yang menjadikannya bersedih KAU ubah menjadi kebahagiaan baginya.
Ibu ………….. Tetaplah berdoa untuk semua, sama seperti aku juga akan terus berdoa untuk semuanya.
I Love You Forever Mom !!!! Jesus Love You .........

Kamis, 14 April 2011

Dengar Seruanku , Tuhan .....


Kalau boleh aku bertanya, masih seberapa jauhkah jalan yang harus aku tempuh ? masih seberapa jauh pulakah jalan yang akan kutempuh sedemikian parahnya, sehingga badanku terasa pegal bukan main ??

Kalau boleh pula aku berharap, sisa jalan di depanku tidaklah separah yang telah aku tempuh, sehingga bisa kunikmati sisa perjalananku ini.

Kalau boleh aku meminta, beri kekuatan yang luar biasa kepadaku agar apapun yang ada di hadapanku bisa aku lalui, meski dengan peluhku yang bercucuran.

Kalau aku boleh protes, Tuhan ….. kenapa aku yang sudah sedemikian rupa berusaha keras, mungkin lebih keras daripada orang lain, tapi tetap saja jalan yang Kau tunjukkan masih juga terasa begitu banyak lobang dan berliku ??

Tidak hanya itu, Tuhan. Masih ada protes yang aku sampaikan, mengapa aku selalu Kau jadi pecundang ?? Kenapa pula Kau biarkan orang lain bisa dengan gampangnya menunjukkan ujung jarinya tepat di depan mataku ?? kenapa aku tidak Kau mampukan untuk menjadi “Sang Pemenang” ?

Tuhan, sebenarnya aku sangsi ……. benarkah protes dan pertanyaan-pertanyaanku ini ?? Inikah yang dinamakan “memperkosa’-Mu ??

Maafkan aku, Tuhan. Bagiku lebih baik semuanya ini aku sampaikan kepada-Mu, karena aku sudah terlalu lelah menempuh perjalanan ini. Tolong Tuhan lihat, keringatkupun sudah tidak bening lagi, tapi merah menyala, pekat dan berbau anyir. Mestikah tubuhku tanpa keringat dan tanpa darah lagi ??

Kalau boleh aku meminta lagi, Tuhan ….. jangan tegakan aku, buat agar mataku tetap terjaga ketika aku berjalan sampai di batas akhir sana.

Aku akan memulai lagi perjalananku dengan kakiku yang sudah mulai melepuh ………. Jaga aku, Tuhan.

Minggu, 03 April 2011

Tegur Sapa


Jarum jam menunjukkan pkl. 05.25, ketika aku terbangun pagi tadi. Terbersit dalam pikiran untuk menghirup udara bersih di persawahan timur dusun. Meski Matahari belum menampakkan sinarnya secara utuh karena mendung, ku mulai juga anganku yang hilang sejak beberapa bulan lalu karena selalu saja tidak ada kesempatan jalan pagi  setelah seharian dan malam sebelumnya selalu dihinggapi capek yang luar biasa dengan bejibunnya agendaku.

“Tindak-tindak pak ?” …. “kok namung piyambakan pak …….” …..”badhe tindak pundi pak ?” …… “mumpung libur nggih pak ?” …….. “pinarak pak ..” ……. “ayo ngonthel bareng boss” …...”olah raga pak ?” ……. baru berjalan beberapa puluh meter saja sudah banyak tetangga menyapaku. 

Ah, iya …….. agaknya frekuensiku untuk ketemu dengan tetangga sangat minim dalam beberapa bulan ini. Pasca erupsi Merapi, aku menyibukkan diri  dan terlalu sibuk terlibat di arena luar sana, jauh dari kehidupan dusunku. Satu hal yang aku rasakan tadi pagi, meski  lama aku kurang bergaul dengan mereka, namun mereka bisa memaklumi aktivitasku itu. Tidak ada protes kenapa aku jadi jarang berkumpul bareng mereka. Mereka tetap hangat menyapaku, mengajak ngobrol. Beberapa kali langkahku harus kuhentikan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Sungguh menyenangkan hidup di pedesaan. 

“Lha monggo pak, menawi badhe nerasaken tindak-tindak , mumpung taksih enjing…” kata pak Sis, tetanggaku, mantan guru SMP yang sudah pensiun beberapa belas tahun lalu. Kususuri jalanan menurun di depan rumah pak dukuh. Ketika sampai di kolam ikan, aku sempatkan untuk melihat beberapa petak kolam dengan berbagai ikan yang ada di dalamnya dengan berbagai jenis dan ukuran. Di ujung sana terlihat beberapa ibu-ibu mencuci baju di dekat ‘umbul‘ air bersih. Kaki kulangkahkan lagi lurus ke timur sampai pertigaan dusun, berbelok ke utara di jalanan beraspal. Rute yang beberapa bulan lalu selalu menjadi  rute favoritku. Di kiri dan kanan terhampar persawahan. Di sebelah utara nampak berdiri tegak gunung Merapi. Hujan yang turun semalam membuat gemericik air di parit dan saluran irigasi begitu keras terdengar. Hal yang tidak aku jumpai di perkotaan tempat aku bekerja.

Belum sampai seratus meter menyusuri persawahan, langkahku kuhentikan ketika melihat pak Winar berjalan di belakang seekor sapi miliknya yang dipakainya ‘membajak’ sawah, order dari pemilik sawah, masih tetangga juga. Dulu, semasa kecilku, aku juga sering melihat petani membajak sawah, bedanya yang kulihat dulu memakai tenaga kerbau. Sapi lebih sering kulihat dipergunakan tenaganya untuk menarik gerobak. Kubelokkan langkah, menyusuri pematang sawah yang sedang digarap Pak Winar. Sapi yang dipakai membajak tidak gemuk, bahkan terkesan tidak bertenaga, namun tetap saja berjalan muter-muter sambil menyeret ‘luku’ di sebidang sawah, sesuai perintah tuannya. Tidak banyak lecutan yang disabetkan pak Winar. 

“ckckckck…….huss … .huss …. “ perintah aba-aba dari mulut pak Winar agaknya cukup dimengerti oleh sapinya. Kuamati, setiap kali sampai di pojok timur laut sawah, diangkatlah ‘luku’ itu untuk diarahkan ke sisi lain lagi, dan sapi itu berjalan memutari sawah itu sambil menyeret luku itu lagi. Begitu terus. 

“ibu kok mboten tumut pak ?” tanya pak Winar sambil menghentikan laju sapinya. “taksih sare napa “ lanjutnya.
“mboten pak, nembe persiapan dhateng gerejo enjing niki” sahutku. Istriku mempunyai tugas sebagai song leader dalam kebaktian pagi di gerejaku, sehingga tidak bisa ikut jalan-jalan pagi.

“Ajeng ngangge sapi kalih, malah kulo sing gembrobyos ….lha pripun, tenagane kathah, lakune nggih dados cepet, kulo kabotan sing ngangkat-angkat lukune pak. Mendhing ngangge sapi setunggal, radi lami wekdal-e mboten napa-napa, ning kulo mboten gembrobyos” cerita pak Winar pagi tadi ketika kutanya kenapa hanya memakai seekor sapi. 

“kulo sambi nggih pak …… ckckckc …..huss …..huss” kata pak Winar sambil mengarahkan kembali sapinya. Bermaksud agar tidak begitu mengganggunya, akupun berjalan menyusuri pematang lagi dan pamitan pada pak Winar. Kulihat jam tanganku, sudah jam tujuh lebih lima. Ternyata lama juga aku sudah diluar rumah yang berjarak sekitar tiaratus meter dari tempatku ngobrol terakhir. Lompatan kecilku dari pematang mengantarku kembali di jalan beraspal. Masih dengan santai melihat kanan-kiri  pulang ke rumah, berpapasan dengan traktor kecil yang akan memulai kerjanya di petak lain. Dusunku cukup potensial dibanyak hal. Banyak hal pula yang telah aku terima sebagai pelajaran dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Thank’s God ………. Kau ingatkan aku akan pentingnya komunikasi.