Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Terbanglah Dengan Sayapmu !!!

Ketika apapun yang telah kau lakukan dengan sepenuh hati tetap saja terasa hampa, jangan ragu untuk mengepakkan sayapmu, gunakan tenagamu untuk melayang jauh. Terbanglah setinggi mungkin agar bisa kau lihat dunia yang begitu luas, dan belajarlah pada dunia yang telah kau lihat.

Minggu, 03 April 2011

Tegur Sapa


Jarum jam menunjukkan pkl. 05.25, ketika aku terbangun pagi tadi. Terbersit dalam pikiran untuk menghirup udara bersih di persawahan timur dusun. Meski Matahari belum menampakkan sinarnya secara utuh karena mendung, ku mulai juga anganku yang hilang sejak beberapa bulan lalu karena selalu saja tidak ada kesempatan jalan pagi  setelah seharian dan malam sebelumnya selalu dihinggapi capek yang luar biasa dengan bejibunnya agendaku.

“Tindak-tindak pak ?” …. “kok namung piyambakan pak …….” …..”badhe tindak pundi pak ?” …… “mumpung libur nggih pak ?” …….. “pinarak pak ..” ……. “ayo ngonthel bareng boss” …...”olah raga pak ?” ……. baru berjalan beberapa puluh meter saja sudah banyak tetangga menyapaku. 

Ah, iya …….. agaknya frekuensiku untuk ketemu dengan tetangga sangat minim dalam beberapa bulan ini. Pasca erupsi Merapi, aku menyibukkan diri  dan terlalu sibuk terlibat di arena luar sana, jauh dari kehidupan dusunku. Satu hal yang aku rasakan tadi pagi, meski  lama aku kurang bergaul dengan mereka, namun mereka bisa memaklumi aktivitasku itu. Tidak ada protes kenapa aku jadi jarang berkumpul bareng mereka. Mereka tetap hangat menyapaku, mengajak ngobrol. Beberapa kali langkahku harus kuhentikan untuk bercakap-cakap dengan mereka. Sungguh menyenangkan hidup di pedesaan. 

“Lha monggo pak, menawi badhe nerasaken tindak-tindak , mumpung taksih enjing…” kata pak Sis, tetanggaku, mantan guru SMP yang sudah pensiun beberapa belas tahun lalu. Kususuri jalanan menurun di depan rumah pak dukuh. Ketika sampai di kolam ikan, aku sempatkan untuk melihat beberapa petak kolam dengan berbagai ikan yang ada di dalamnya dengan berbagai jenis dan ukuran. Di ujung sana terlihat beberapa ibu-ibu mencuci baju di dekat ‘umbul‘ air bersih. Kaki kulangkahkan lagi lurus ke timur sampai pertigaan dusun, berbelok ke utara di jalanan beraspal. Rute yang beberapa bulan lalu selalu menjadi  rute favoritku. Di kiri dan kanan terhampar persawahan. Di sebelah utara nampak berdiri tegak gunung Merapi. Hujan yang turun semalam membuat gemericik air di parit dan saluran irigasi begitu keras terdengar. Hal yang tidak aku jumpai di perkotaan tempat aku bekerja.

Belum sampai seratus meter menyusuri persawahan, langkahku kuhentikan ketika melihat pak Winar berjalan di belakang seekor sapi miliknya yang dipakainya ‘membajak’ sawah, order dari pemilik sawah, masih tetangga juga. Dulu, semasa kecilku, aku juga sering melihat petani membajak sawah, bedanya yang kulihat dulu memakai tenaga kerbau. Sapi lebih sering kulihat dipergunakan tenaganya untuk menarik gerobak. Kubelokkan langkah, menyusuri pematang sawah yang sedang digarap Pak Winar. Sapi yang dipakai membajak tidak gemuk, bahkan terkesan tidak bertenaga, namun tetap saja berjalan muter-muter sambil menyeret ‘luku’ di sebidang sawah, sesuai perintah tuannya. Tidak banyak lecutan yang disabetkan pak Winar. 

“ckckckck…….huss … .huss …. “ perintah aba-aba dari mulut pak Winar agaknya cukup dimengerti oleh sapinya. Kuamati, setiap kali sampai di pojok timur laut sawah, diangkatlah ‘luku’ itu untuk diarahkan ke sisi lain lagi, dan sapi itu berjalan memutari sawah itu sambil menyeret luku itu lagi. Begitu terus. 

“ibu kok mboten tumut pak ?” tanya pak Winar sambil menghentikan laju sapinya. “taksih sare napa “ lanjutnya.
“mboten pak, nembe persiapan dhateng gerejo enjing niki” sahutku. Istriku mempunyai tugas sebagai song leader dalam kebaktian pagi di gerejaku, sehingga tidak bisa ikut jalan-jalan pagi.

“Ajeng ngangge sapi kalih, malah kulo sing gembrobyos ….lha pripun, tenagane kathah, lakune nggih dados cepet, kulo kabotan sing ngangkat-angkat lukune pak. Mendhing ngangge sapi setunggal, radi lami wekdal-e mboten napa-napa, ning kulo mboten gembrobyos” cerita pak Winar pagi tadi ketika kutanya kenapa hanya memakai seekor sapi. 

“kulo sambi nggih pak …… ckckckc …..huss …..huss” kata pak Winar sambil mengarahkan kembali sapinya. Bermaksud agar tidak begitu mengganggunya, akupun berjalan menyusuri pematang lagi dan pamitan pada pak Winar. Kulihat jam tanganku, sudah jam tujuh lebih lima. Ternyata lama juga aku sudah diluar rumah yang berjarak sekitar tiaratus meter dari tempatku ngobrol terakhir. Lompatan kecilku dari pematang mengantarku kembali di jalan beraspal. Masih dengan santai melihat kanan-kiri  pulang ke rumah, berpapasan dengan traktor kecil yang akan memulai kerjanya di petak lain. Dusunku cukup potensial dibanyak hal. Banyak hal pula yang telah aku terima sebagai pelajaran dalam menyikapi hidup dan kehidupan. Thank’s God ………. Kau ingatkan aku akan pentingnya komunikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar